Di zaman pemerintahan Cayus Julius Caesar
(100-44) di Negara Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis di lapangan
terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu
berisi pengumuman-pengumuman dan dibedakan menjadi dua macam yaitu Acta senates
yang memuat laporan-laporan singkat tentang siding senat dan
keputusan-keputusannya. Yang kedua adalah Acta Diurna Populi Romawi yang memuat
keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita lainnya. Dan acta diurnal
merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai
peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.
Dan di zaman Romawi pulalah muncul
wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartawan ini terdiri atas budak-budak
belian yang oleh pemiliknya diberi tugas untuk mengumpulkan informasi, berita,
bahkan menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan hasilnya. Dan kalu pemilik
budak sedang berada di luar daerah, budak-budak ini selalu berusaha untuk
mengirim berita-berita yang terjadi di kota Roma agar tuannya selalu mengikuti
kejadian di kota tersebut. Hamzah dkk. Menceritakan surat kabar cetakan baru
terbit tahun 991 di Cina. Namanya King Pau dan merupakan surat kabar milik
pemerintah yang diterbitkan dengan suatu aturan khusus dari Kaisar Quang Soo.
Di Eropa pada tahun 1605 Abraham
Verhoeven di Antwerpen, Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe
Tijdinghen.Dan baru pada tahun 1617 selebaran ini terbit secara teratur yaitu
8-9 hari sekali. Pada tahun 1620 sudah memakai nomor urut dan nama yang tetap
Nieuwe Tijdinghen. Pada tahun 1629 Nieuwe Tijdinghen berganti nama menjadi
Wekelijsche Tijdinghen. Pada masa peralihan surat selebaran menjadi surat kabar
dan isinya telah lengkap dengan segala macam peristiwa, misalnya mengenai
kejadian-kejadian yang mengerikan, peristiwa pembunuhan dan perampokan (Hamzah
dkk. 1987:33).
Di
Indonesia sendiri jurnalistik pers mulai dikenal pada abad ke-18, tepatnya pada
1776. Ketika itu sebuah surat kabar bernama
Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang Belanda. Pada 1776 di Jakarta, terbit surat kabar Vendu
Niews yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.
Menginjak
abad 19 terbit surat kabar yang masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk
para pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda,
yang hanya sklompok kecil saja. Sedangkan surat kabar untuk kaum pribumi mulai
ada tahun 1854 saat majalah Bianglala diterbitkan, kemudian disusul oleh
Bromartani tahun 1885, keduanya di Weltevreden dan pada tahun 1856 terbit Soerat
kabar Bahasa Melajoe di Surabaya
Sejarah
jurnalistik pers abad 20 ditandai oleh munculnya surat kabar pertama milik
bangsa Indonesia yang bernama Medan Prijaji yang terbit di Bandung. Medan
Prijaji ini dimiliki dan di kelola oleh Tirto Hadisurjo atau raden Mas
Djokomono.Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan
dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun
dalam pemuatan karangan dan iklan.
Pada
tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan 1945, pers kita menikmati masa bulan
madu. D Jakarta dan berbagai kota bermunculan surat kabar baru. Lima tahun
kemudian atau mulai 1950 pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik
praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau trompet partai-partai
politik besar. Inilah yang disebut era pers partisan yang artinya pers dengan
sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai
politik yang disukai dan didukungnya.
Sejak
Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap
perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Dan
menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal
kematian kebebasan pers Indonesia. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30
September 1965 yang berhasil di tumpas oleh rakyat dan TNI serta mahasiswa.
Menurut Jakob Oetama, sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu terjadi karena 3 hal yaitu pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua, kebebasan pers yang menjadi lebih leluasa dibandingkan dengan priode sebelumnya. Dan yang ketiga, barangkali embrio sikapprofesionalisme dalam redaksi dan pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan
Menurut Jakob Oetama, sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu terjadi karena 3 hal yaitu pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua, kebebasan pers yang menjadi lebih leluasa dibandingkan dengan priode sebelumnya. Dan yang ketiga, barangkali embrio sikapprofesionalisme dalam redaksi dan pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan
Kelahiran
orde Reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 Mei 1998 setelah Soeharto
menyerahkan jabatannya kepada wakilnya BJ Habibie, di sambut dengan penuh
sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia. Secara yuridis, UU Pokok Pers
No.21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No.40/ 1999. Dengan UU dan
pemerintahan baru, siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapapun bisa
menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers manapun. Tak ada lagi
kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Pers Indonesia
Menggenggam Bara. Judul itulah yang ditampilkan Harian Pagi Kompas edisi 7
Februari 2005 ketika mengangkat laporan hasil jajak pendapat mempringat hari
Pers nasional 9 februari 2005. Hasil jajak pendapat antara lain menyimpulkan,
setelah tujuh tahun kebebasan dinikmati, dunia pers Indonesia kembali
dihadapkan pada posisi dilematis, antara mempertahankan atau mengerem kebebasan
yang dimiliki. Apresiasi yang tinggi dari public terhadap era kebebasan pers
saat ini, tulis Kompas,
(Sumber: Buku Dasar Dasar Jurnalistik)
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon